Mandiri (Yang Bukan Bank)

Capture by Pakdhe

Wah, dah lama ga nulis blog dengan keinginan sendiri. Haha.

Sisanya menulis karena ada misi zona. Khusus zona kali ini temanya Melatih Kemandirian Anak. Saat menyimak live streaming FBG materinya, dijelaskan tahapan kemandirian anak sesuai usianya. Mulai dari usia 0-1, 1-3, 3-7, sisanya sampai usia maksimal 17 ke atas.

Sambil mendengarkan, meski agk terbata-bata (kan belum pernah praktek ya), jadi memahami apa yang dilakukan adik ipar terhadap 3 anaknya. Putrinya yang pertama usia 8 tahun (kalau tidak salah). Kadang-kadang masih harus disuruh mandi, mengembalikan piring, waktunya stop gadget time dan lainnya. Budenya ini kadang geleng-geleng juga liatnya. Yang nomer 2 usia 4 tahun (kayanya), masih rada oleng (tapi gemes banget), sudah bisa milih baju sendiri. Meski hasilnya ya begitu pada padannya bikin pakde bergidik. Soalnya seleranya sama kaya bude. Crash dan bold. Haha. 

Sekilas skill memilih, tahu apa yang kumau, tahu apa yang kusuka, itu terlihat remeh. Padahal jelas-jelas itu sesuatu yang penting. Contoh nyatanya akan menjadi perempuan-perempuan yang bertanya, "Enaknya pake baju hitam apa putih ya?" Pasangan menyarankan putih. Lagi-lagi perempuan keluar dengan pakaian warna hitam. Haha. Dasar galau.

Tidak hanya urusan pakaian, mandiri dalam mengambil keputusan juga bakal memberikan efek ke pengambilan keputusan. Aku sendiri melihat ada orang-orang yang sampai tua tidak berani mengambil keputusan. Bahkan untuk urusan kepentingan sendiri. Biasanya beralasan, "Ah pusing aku, males mikir, bingung" Padahal itu lebih ke arah bloking karena tidak bisa mandiri dalam mengambil keputusan.

Aku alhamdulillah, dari dulu termasuk cepat membuat keputusan dengan pemikiran yang cukup matang dan tidak mudah terpengaruh orang lain. Kalau sudah memutuskan tidak ingin bergabung ke satu acara, ya sudah  titik. Tidak akan ada yang bisa mempengaruhiku. Ini bisa jadi positif dan negatif juga ya. 

Tapi kelihatan kok, dari beberapa interaksi follower dengan influencer di IG, suka muncul pertanyaan seperti ini. Kak, mending aku beli motor, mobil apa bayar hutang dulu? Kak mending aku resign atau tetap kerja? Huft. Tuluuung. You do you.

Oke, balik lagi ke kemandirian. Dari kecil disuruh mandiri. Tapi giliran berusaha mandiri, malah diintervensi bahkan sampai saat sudah dewasa. Semuanya tujuannya biar cepat. Kalau ada yang bilang generasi sekarang generasi instan, generasi dulu juga loh. Sudah terucap dengan jelas, "Ndang cepet gede, cepet lulus, cepet kuliah, cepet golek kerjo, cepet rabi, cepet duwe anak" Byuuuh. Mau cepet-cepet itu apa siiiih.

Dah komplain part 1 dulu ya.

Kalau dari misi zona ini, aku sebagai seorang perempuan yang belum ada anak, tantangannya agak beda karena obyeknya tentu saja diri sendiri. Sebenarnya ini masih gampang dibandingkan yang punya anak, cuma tetep aja bingung mau apanya yang dilatih. 

Sebagai jomblo selama 3 dekade (lebay dah), menjalani hidup ngekos sejak usia 18 tahun. Mandiri atau sendiri kayanya lebih tepat ya, sudah jadi makanan sehari-hari. ga tau kenapa dari jaman kuliah, santai aja cari makan sendiri. Lanjut ke jaman kerja, makin-makin deh. Bisa ke mall sendiri, belanja sendiri, nonton pun pernah sendiri. Ih kenapa sih ga cari temen? Satu, teman pasti punya kesibukan lain, harus nyocokin jadwal, selera film juga belum tentu sama. Apalagi aku doyan anime. Dah lah nonton sendiri aja. Kalau ketemu orang lain pas pergi, keki ga ditanyain sama siapa mba? Ya jawab aja, sendiri, Titik. Me versi ketus. Haha. Beres-beres rumah sendiri. Mudik sendiri. Naik motor sendiri. Nyetir mobil sendiri. Ke bengkel motor mobil pun sendiri. Ke tempat cucian mobil sendiri. Sampe-sampe pas uda nikah kalau mau naik mobil otomatis ke arah pintu pengemudi :))) Oiya, mancing pompa pun aku bisa kok. Survei rumah sendiri sampai isi furnitur sendiri. Orang yang lihat bilang, "Nanti aja mba nunggu kado nikahan" Oalah tholee kapan rabiku emange. Kadang-kadang suka sedih kenapa status sosial perempuan lajang itu kaya cuma nunggu nikah. Terus aku kudu nunggu 5 tahun kemudian baru ketemu pakde. Termasuk kesalahanku waktu itu adalah ga langsung daftar haji. Antara kurangnya ilmu dan mikir kan belum ada mahram. Ortu juga tahunya ya haji nunggu punya suami. Padahal, kalau ternyata yang datang menjemput duluan adalah kematian. Pertanggungjawabanku nanti gimanaaaa?

Balik ke topik pergi sendiri.

Tapi-tapi ada juga kok kawan yang ga bisa pergi-pergi sendiri. Katanya ga nyaman. Katanya risih kalau belanja sendiri sementara sekitarnya mungkin belanja bersama keluarga. Halah. Tinggal kita pintar cari waktu aja. Mau belanja weekend? Belanja pagi karena kemungkinan yang punya anak masih harus memandikan anak dan persiapan lainnya. Yang pergi bareng pasangan masih harus dandan dulu. Pergi pagi, urusan cepat selesai dan ga ketemu macet (di Jakarta). Selesai deh masalah. Don't mess with yourself. 

Dipikir-pikir kalo takut sendiri, bukankah manusia itu pada mulanya lahir sendirian dan akan berakhir sendirian juga.


Cheers.


P.S.: Tenang, aku masih harus latihan cara melepas kenop tabung gas dan menambah skill menyetir mobil manual kok :D

Comments

Popular Posts